Me-mention Nama Pelaku Penyimpangan (terutama dalam manhaj) ialah hukum default (hukum asal) dalam amar ma'ruf nahi munkar yang diajarkan Nabi dari dulu bersama para salaf. Nabi ma'shum serta orang yang paling bijaksana dan berakhkak mulia. Jadi apa2 yg dilakukannya = benar, tidak tercela.
Jika dalam bisnis, silakan kamu jalankan kesepakatan yang berjalan diantara pelaku bisnis yg ada, selama itu tidak bertentangan dengan syar'i. Sehingga wajar dan dibenarkan jika kita misal enggan menyebut sebuah nama brand/perusahaan karena sedang mempromosikan suatu brand yg kita dibayar di situ, atau sedang mereview kelebihan dan kekurangan sebuah produk. "Kalian bisa beli di toko sebelah ya, toko ijo atau toko oren".
Adapun dalam mengingatkan masyarakat terhadap penyimpangan yang dilakukan seseorang dalam agama, hukum asalnya ialah sebutkan namanya jika kekeliruan itu terkait dengan seseorang. Hal ini sudah lumrah dan tidak tercela kecuali di hari ini. Ahli ilmu, para imam dulu mereka melakukan Jarh wa Ta'dil kepada para periwayat2 informasi, terutama di hadits, dan itu biasa. Kita harus berterima kasih kepada mereka yang sudah mengabdikan usianya untuk melakukan jejak penelusuran tentang profil setiap periwayat sehingga kita di hari ini bisa mengetahui sebuah info itu valid, lemah, dusta, atau palsu.
Tapi lain hal di hari ini, praktik menyebut nama image-nya jadi berubah, dipandang negatif, awam menyamakan lingkup agama dengan lingkup bisnis. "Jangan mutus rezeki orang dong!" "Masing2 saja bang, kek emang elu aja yang bener" "Gak hikmah ya, doyan bener ngorek salah orang", dll. Sehingga –mungkin— efek buruknya kita rasakan sbg masyarakat, "Jadi mana yang bener?".
Andai tidak ada praktik itu sejak dulu, kita tidak akan pernah bisa sholat dengan sholat yang sesuai panduan Nabi, wudhunya, zakatnya, hajinya. Ada praktik Jarh wa Ta'dil juga masih saja ada kasus pemalsuan hadits, apalah lgi kalau nggak ada. Akhirnya, keder sendiri kan.
Kalo psikis belum siap, siapkan dulu. Karena masuk ke pembahasan sana perlu kepala yg dingin, niat yg tulus memang cari kebenaran. Kalo masih baperan, jangan ya dek ya, jangan masuk, kamu gak akan kuat, biar ulama aja.
"Baper adalah tembok tebal yang menghalangi penuntut ilmu dari ilmu"